Apapun hasilnya, asal sudah mengusahakan sebaiknya, berarti saat itu kita sudah menjadi diri kita yang terbaik.
Kita akan cenderung bangga ketika dilabeli sebagai pekerja keras.
Tidak ada yang salah dengan anggapan itu. Seorang pekerja keras berarti memiliki komitmen dan tanggung jawab.
Namun ada juga orang yang bekerja ekstra keras karena ingin membuktikan diri. Mereka keras pada diri sendiri.
Orang dengan kecenderungan seperti itu biasanya juga mengalami kecemasan.
Mereka cemas jika orang lain menganggap mereka tidak terlalu baik atau tidak terlalu sukses.
Terdapat dorongan untuk menjadi perfeksionis, khawatir kesalahan kecil akan menampakkan kekurangan mereka.
Semakin kompetitif lingkungan, semakin besar kecemasan dan ketakutan mereka akan kegagalan.
Kondisi tidak sehat ini bisa dipicu berbagai sebab, salah satunya akibat pengaruh orang tua.
Saat masih kecil, orang tua mungkin melabeli anak dengan apa yang mereka lakukan (tugas sekolah, olahraga, nilai rapor) – alih-alih dengan kualitas mereka (berani, pintar, murah hati).
Dalam sebagian budaya, orang tua hanya memberi apresiasi anak saat meraih nilai terbaik atau menjadi juara.
Tidak peduli seberapa keras anak berusaha, mereka tidak pernah mendapatkan pengakuan dan apresiasi yang didambakan.
Akhirnya, anak tidak menghargai diri sendiri dan selalu fokus pada kekurangan. Sikap yang terus terbawa hingga dewasa.
Sisi positifnya, sindrom seperti ini dapat mendorong kesuksesan. Kebutuhan akan pengakuan membuat seseorang akan bekerja dengan keras dan tekun.
Kita sendiri yang harus menilai, apakah dorongan ini masih dalam taraf yang bisa diterima atau telah berubah menjadi obsesi yang tidak sehat.
Lantas bagaimana cara mengatasi rasa takut dan kecemasan karena merasa tidak pernah menjadi cukup baik?
Pertama, tanyakan apa yang bisa dilakukan untuk bersikap baik kepada diri sendiri.
Welas asih pada diri sendiri (self compassion) berarti membiarkan diri menjadi manusia yang tidak sempurna.
Dengan memahami hal ini, kita tidak akan merasa khawatir gagal atau merasa takut pada penilaian orang lain.
Toh sebagai manusia kita tidak sempurna, sama seperti semua manusia lain yang juga tidak ada yang sempurna.
Apapun hasilnya, asal sudah mengusahakan sebaiknya, berarti saat itu kita sudah menjadi diri kita yang terbaik.
Kedua, atur kembali ekspektasi agar lebih realistis.
Ketika mulai mengkritik diri sendiri karena kesalahan kita dan takut orang lain akan melihat kesalahan itu, tarik napas dalam tiga kali.
Pada napas pertama, perhatikan bagaimana perasaan kita. Pada napas kedua, ingatlah bahwa kita tidak sendiri. Banyak orang mengalami tantangan serupa, banyak orang diliputi perasaan takut gagal.
Pada napas ketiga, tanyakan pada diri, “Apa yang saya pilih untuk rasakan? Cemas karena memiliki ekspektasi tidak realistis atau berwelas asih pada diri sendiri dan menyadari bahwa tidak mengapa jika harus gagal.”
Ketiga, buat pemisah tegas antara siapa kita dan apa yang kita lakukan.
Kita bukanlah pekerjaan kita, kita juga bukan profesi kita. Artinya, saat melakukan kesalahan dalam pekerjaan, bukan berarti kita lantas gagal sebagai manusia.
Temukan kualitas diri kita yang sebenarnya (bukan profesi) seperti tekad kuat, pantang menyerah, integritas, kecerdasan, gairah, kreatif, komunikatif, atau tanggung jawab.
Tidak ada yang bisa menghilangkan sifat-sifat ini. Kita tidak akan kehilangan sifat baik ini meskipun suatu saat kita gagal.
Jadi saat kehilangan pekerjaaan atau gagal dalam usaha, kita sekedar kehilangan predikat. Karena kita tidak pernah kehilangan inti dari diri kita.[]