Rasa syukur membuka mata kita bahwa hidup adalah mukjizat, sesuatu untuk dikagumi, dinikmati, dan dirayakan, alih-alih dilupakan, diabaikan, atau diterima begitu saja.
Kita harus banyak bersyukur, begitu penceramah mengatakannya berulang-ulang.
Bersyukur menjadi salah satu perilaku yang paling sering dianjurkan. Bukan tanpa sebab, karena hidup yang lebih baik dan lebih bahagia bisa diraih dengan mempraktikkannya.
Namun ironinya, meskipun sering diulang, syukur menjadi salah satu nilai yang semakin sulit dicapai di era modern ini.
Dengan masyarakat yang condong pada konsumerisme, kita menjadi lebih fokus pada apa yang tidak kita miliki atau fokus pada kepunyaan orang lain yang belum kita punyai.
Padahal, prinsip dasar bersyukur terletak pada penghargaan pada apa yang sudah kita miliki. Untuk merasa cukup dengan apa yang sudah kita punyai.
Lebih dari itu, rasa syukur juga mencakup pengakuan bahwa kebaikan dalam hidup kita bisa berasal dari sesuatu yang berada di luar kita dan di luar kendali kita, baik itu orang lain, semesta alam, atau kekuatan yang lebih tinggi.
Rasa syukur membuka mata kita bahwa hidup adalah mukjizat, sesuatu untuk dikagumi, dinikmati, dan dirayakan, alih-alih dilupakan, diabaikan, atau diterima begitu saja.
Bersyukur juga mendorong pada kegembiraan, ketenangan, kesadaran, antusiasme, dan empati, sekaligus menjauhkan dari kecemasan, kesedihan, kesepian, penyesalan, dan iri hati.
Semua kondisi tersebut tercapai karena terbukanya perspektif yang lebih utuh, teralihnya fokus dari apa yang tidak kita miliki ke apa yang sudah kita miliki, ke karunia yang ternyata berlimpah tanpa kita sadari.
Perspektif ini membuat kita mampu menjalani hidup sepenuhnya, untuk mencerap setiap berkah dan keajaibannya.
Hasil penelitian juga mengaitkan rasa syukur dengan peningkatan energi, kepuasan, dan motivasi hidup.
Banyak bersyukur membuat tidur lebih nyenyak serta mengurangi stres dan kesedihan.
Orang yang bersyukur juga lebih terlibat dengan lingkungannya, yang mengarah pada pertumbuhan pribadi dan penerimaan diri yang lebih besar.
Meskipun memiliki banyak manfaat, amat sulit untuk menanamkan rasa syukur.
Bersyukur terlihat bertentangan dengan beberapa sifat dasar manusia, seperti tidak mudah puas dan berusaha mencapai lebih baik, kebutuhan untuk mengendalikan nasib sendiri, serta kecenderungan untuk memuji diri sendiri atas kesuksesan kita serta menyalahkan orang lain atas kegagalan kita.
Singkatnya, kesulitan menumbuhkan rasa syukur timbul karena kita berusaha eksis sebagai individu yang mandiri daripada sebagai makhluk sosial dan kolektif. Rasa syukur akan terasa merusak ilusi ego kita.
Itu sebab, rasa syukur bisa diartikan sebagai pencapaian kedewasaan emosional, yang bisa diraih pada usia berapa pun atau pada banyak kasus, tidak bisa diraih sama sekali pada usia berapa pun.
Seperti semua kebajikan, rasa syukur membutuhkan proses penanaman secara konstan, sampai suatu hari kita bisa benar-benar menginginkan apa yang sudah kita miliki dan tidak mencari pemenuhan dari apa yang tidak kita miliki.[]