Bahagia memiliki watak paradoks, semakin kita menginginkannya justru semakin sulit kita mendapatkannya.
Kebahagiaan ibarat permata amat berharga yang diinginkan semua orang.
Namun selayaknya permata yang langka, tidak semua orang berhasil meraihnya.
Bahagia memiliki watak paradoks, semakin kita menginginkannya justru semakin sulit kita mendapatkannya.
Kondisi ini terjadi karena kita salah tempat dalam mencari rasa bahagia. Kita sering berasumsi kebahagiaan bisa didapatkan dari sesuatu diluar diri kita.
Itu sebab, banyak orag berusaha lebih kaya, lebih terkenal, atau bekerja lebih keras agar lebih bahagia.
Kenyataannya, sumber kebahagiaan sebenarnya sudah tersedia di sekitar kita. Pada hal-hal yang sudah kita miliki.
Artinya, kita tidak perlu keluar jauh untuk mendapatkannya. Kita hanya perlu untuk melihat dan meraihnya.
Lantas bagaimana cara untuk lebih bahagia?
Pertama adalah dengan jangan mencoba untuk lebih bahagia. Lho, bagaimana bisa?
Semua bermuara pada kesalahpahaman kita yang menganggap kebahagiaan adalah tujuan, bukan sarana.
Kita berpikir jika mendapatkan apa yang kita inginkan, maka kita akan bahagia.
Namun, kebenarannya ternyata memiliki arah berlawanan. Saat menjadikan bahagia sebagai tujuan, kita lupa bahwa yang terpenting sebenarnya adalah prosesnya.
Artinya, kita paling bahagia ketika tidak memikirkannya, ketika kita menikmati momen saat ini, ketika menghabiskan waktu dengan orang yang kita sayangi, ketika bekerja untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, atau ketika membantu orang yang membutuhkan.
Jadi bahagia bukan dengan memiliki keluarga bahagia, melainkan pada proses mencapai keluarga bahagia. Dengan menjalani dan menikmati proses setiap harinya.
Kedua, agar lebih bahagia, kita harus lebih ikhlas atau menerima sesuatu apa adanya.
Untuk diketahui, banyak penghambat kebahagiaan sebenarnya berasal dari pikiran.
Memiliki jumlah tak terhingga, pikiran bisa digolongkan sebagai positif dan negatif.
Meskipun pikiran bisa mempengaruhi tindakan, pada awalnya pikiran tetap sekedar pikiran. Artinya apa yang kita pikirkan tidak mendefinisikan siapa kita.
Jadi saat pikiran negatif muncul (iri, benci, cemburu, marah, dll) terima hal itu apa adanya. Jangan menghakimi diri kita karena memiliki pikiran negatif.
Kuncinya adalah dengan menerima pikiran apa adanya, dengan membersamainya, namun tidak bereaksi terhadapnya.
Tujuannya bukan untuk mengabaikan pikiran tetapi untuk memahami bahwa langsung bereaksi dengan pikiran negatif hanya akan membuat kita tidak bahagia.
Tidak hanya berhenti di tataran pikiran, penerimaan dengan sepenuhnya juga harus tercermin dalam keikhlasan dalam menjalani momen hidup apapun, baik suka maupun sengsara.
Karena bahagia adalah memiliki ketenangan dalam menerima hal-hal yang tidak dapat kita ubah; keberanian untuk mengubah hal-hal yang bisa diubah; dan kebijaksanaan untuk mengetahui perbedaan keduanya.
Ketiga, untuk lebih bahagia, maka perbanyaklah bersyukur atas apapun yang kita miliki.
Banyak penelitian menunjukkan orang yang secara teratur menulis jurnal rasa syukur melaporkan kesehatan fisik yang lebih baik, merasa lebih nyaman dengan kehidupan mereka, dan lebih optimis tentang masa depan.
Untuk membuat jurnal rasa syukur, sisihkan waktu setiap hari untuk mencatat beberapa hal yang kita syukuri.
Misalnya, menulis tiga hingga lima ucapan terima kasih di jurnal ketika bangun tidur atau hendak tidur.
Menulis atau sekedar membayangkan banyaknya hal yang perlu disyukuri akan membuat kita merasa berkelimpahan.
Bahwa sesuatu yang kita anggap biasa, bisa menjadi luar biasa buat orang lain, seperti kesehatan yang baik, indera yang berfungsi lengkap, atau memiliki ketercukupan ekonomi.
Melakukan kebiasaan ini bisa menjadi cara mudah untuk merasa lebih bahagia, bahkan di hari-hari terkelam sekalipun.
Dengan mempraktikkan penerimaan dan syukur sebagai bagian dari gaya hidup, kita akan lebih menikmati hidup, yang pada akhirnya akan membuat lebih bahagia.[]