Kesediaan untuk berkorban bisa mengkomunikasikan pesan positif kepada pasangan dan juga bermanfaat bagi keberlangsungan hubungan.
Cinta memerlukan pengorbanan, begitu kata orang bijak.
100% valid, menjalin hubungan romantis meniscayakan kita untuk mau berkorban demi pasangan.
Pada suatu saat suami harus membantu memasak karena anak yang sedang sakit. Istri harus membantu suami mencari nafkah karena sedang mengalami himpitan ekonomi. Atau salah satu pihak harus bersedia pindah ke kota lain karena karir pasangan mengharuskannya.
Idealnya, aksi berkorban ini tidak hanya dilakukan 1 pihak. Pihak yang lain tentu berharap suatu saat pasangannya juga bersedia melakukan hal serupa.
Memang, terdapat pasangan dalam hubungan romantis yang berkorban satu sama lain tanpa menghitung siapa yang melakukannya lebih banyak.
Namun bagaimana efek jangka panjang jika seseorang merasa hanya memberi pada pasangannya?
Bagaimana jika berkorban ini membuat seseorang harus meninggalkan keinginannya sendiri?
Bagaimana agar aksi berkorban tidak kemudian menjadi eksploitatif dan hanya menguntungkan satu pihak?
Sayangnya, tidak ada jawaban pasti akan pertanyaan ini. Idealnya, berkorban untuk pasangan akan meningkatkan rasa saling percaya dan kerjasama timbal balik.
Namun, berkorban bisa pula membuat seseorang tidak bahagia karena keinginan dan tujuan hidupnya jadi terhambat.
Dengan kata lain, seseorang bisa merasa kesulitan dalam upaya memenuhi impian pribadinya karena harus selalu mengalah pada kepentingan pasangannya.
Untuk menghindari masalah seperti ini, ada baiknya kita bertanya tentang perasaan pasangan pada pengorbanan kita.
Apa pengaruhnya terhadap kesejahteraannya? Apakah dia merasa lebih puas menjalani hubungan setelah kita melakukan semua pengorbanan ini?
Secara umum, kesediaan berkorban untuk pasangan merupakan cara seseorang mengirim sinyal bahwa kebutuhan pasangan lebih penting daripada kebutuhannya.
Pada gilirannya, pasangan diharapkan akan lebih mempercayai kita, yang selanjutnya membuatnya juga bersedia berkorban untuk kita.
Kondisi ini akan bermanfaat bagi kesehatan hubungan. Tapi ada tantangan besar dibalik semua ini.
Menakar secara tepat seberapa banyak satu pihak telah berkorban dibanding pasangannya bisa menjadi sesuatu yang rumit.
Konteks yang berbeda, kasus berbeda, dan waktu berbeda membuat tidak mudah mengkuantifikasi jumlah pengorbanan.
Skala juga berpengaruh. Melakukan pengorbanan kecil mungkin lebih mudah dilakukan, namun akan lebih sulit saat terkait dengan urusan yang lebih besar.
Melakukan hal kecil seperti memasak saat pasangan sakit mungkin tidak akan memicu keberatan. Kita tidak akan terlalu mempermasalahkan ekstra waktu yang harus dihabiskan di dapur.
Merelakan tidak melakukan liburan demi pasangan mungkin akan menjadi pengorbanan tingkat menengah. Artinya, akan lebih sulit melakukan pengorbanan ini dibanding contoh pertama.
Harus pindah kota karena mengikuti pasangan yang pindah pekerjaan adalah masalah yang berbeda sama sekali dan di sinilah pengorbanan bisa berubah menjadi beban dan memicu frustrasi.
Dari sini bisa disimpulkan, pihak yang melakukan pengorbanan lebih besar biasanya harus merelakan pula keinginan penting yang dia miliki sehingga berpotensi mengalami frustrasi yang merugikan hubungan dan diri sendiri.
Itu sebab, berkorban untuk pasangan bisa diibaratkan pedang bermata dua.
Singkatnya, kesediaan untuk berkorban bisa mengkomunikasikan pesan positif kepada pasangan dan juga bermanfaat bagi keberlangsungan hubungan.
Namun, sebelum membuat pengorbanan, pertimbangkan efeknya pada kemampuan kita untuk mencapai tujuan hidup kita sendiri dan potensi merusak yang bisa ditimbulkannya.
Komunikasikan pada pasangan tentang aspirasi dan keinginan kita.
Susun kompromi agar tercapai pengertian bahwa keinginan masing-masing pihak harus sama-sama diakomodasi, bahwa pengorbanan harus dilakukan secara timbal-balik.[]