Mengapa kita begitu tertarik pada cerita tentang sakit hati, trauma, dan kesedihan?
Kisah tentang kesedihan atau kemalangan biasanya cenderung lebih menarik perhatian dibandingkan cerita tentang kebahagiaan dan sukacita.
Para ilmuwan ternyata punya jawabannya. Penelitian menunjukkan menonton film tragis lebih mengingatkan hubungan kita dengan keluarga atau orang-orang terdekat dan pada gilirannya meningkatkan kebahagiaan dengan menumbuhkan rasa syukur atas apa yang kita miliki.
Dengan kata lain, kisah sedih dan tragedi mampu mengingatkan diri kita untuk lebih menghargai apa yang sekarang kita miliki.
Rasa menghargai ini akan memunculkan rasa syukur yang pada gilirannya meningkatkan rasa bahagia.
Sebaliknya, emosi positif pada kisah positif mengirimkan pesan bawah sadar ke otak bahwa semuanya baik-baik saja sehingga tidak memicu emosi yang kuat.
Bukan rahasia, manusia menyukai negativitas hingga terdapat ungkapan berita buruk adalah berita baik.
Itulah alasan mengapa banyak kanal berita membagikan sangat sedikit kabar baik dan begitu banyak berita buruk.
Peraih Nobel, Daniel Kahneman, menyebut fenomena ini sebagai bias negatif (negativity bias).
Bias negatif adalah kecenderungan manusia untuk lebih memperhatikan cerita negatif.
Informasi negatif lebih mudah diserap dan membuat kita cenderung memikirkan peristiwa ini lebih lama.
Bias negatif juga menjelaskan mengapa peristiwa buruk berdampak lebih kuat pada otak daripada peristiwa positif.
Kita merasa lebih sedih kehilangan uang 100 ribu daripada mendapatkan uang 100 ribu.
Artinya dengan jumlah nominal yang sama, emosi negatif ketika mengalami kerugian akan berdampak lebih besar dibandingkan emosi positif saat mendapatkan keuntungan.
Itu sebab, banyak orang lebih takut gagal dan memilih tidak melakukan apa-apa, dibandingkan mencoba dan memiliki peluang untuk berhasil.
Psikolog percaya bahwa beberapa bagian otak kita dirancang untuk hal-hal negatif.
Sebagai manusia, kita mengingat trauma jauh lebih kuat dibanding saat kita sangat senang atau bahagia.
Hanya saja, bias negatif dan kecenderungan untuk menenggelamkan diri dalam topik yang menyedihkan, traumatis, menyakitkan, atau kontroversial dapat berdampak buruk pada kesehatan mental.
Jika tidak dikelola, bias negatif bisa meningkatkan risiko depresi, kecemasan, dan masalah kesehatan mental lainnya.
Kecenderungan negatif juga akan mengurangi kemampuan kita untuk melihat hal positif yang sejatinya banyak terdapat di sekeliling kita.
Kita akan melewatkan banyak hal baik karena radar kesadaran kita disetel terlalu berfokus pada gelombang negatif.
Itu sebab, sedapat mungkin otak mesti dilatih untuk memikirkan hal-hal positif, dan merekamnya dalam ingatan jangka panjang.
Tentu saja, memaknai ulang pengalaman kita dengan cara yang lebih positif membutuhkan waktu dan upaya.
Saat rekan atau atasan memuji hasil kerja kita, serap dan nikmati momen itu. Biarkan diri kita menikmati pujian itu apa adanya tanpa disertai rasa bersalah karena khawatir menjadi tinggi hati.
Lebih jauh, batasi paparan input negatif. Mungkin tidak mudah, apalagi di jaman modern yang sesak dengan informasi tak penting dari kanal berita dan feed dari akun media sosial kita.
Kuncinya adalah dengan secara sadar memperhatikan apa yang boleh masuk ke dalam pikiran kita.
Pada akhirnya, ini akan mencakup pilihan akun media sosial yang kita ikuti, film yang kita tonton, dan bahkan musik yang hendak kita dengarkan.
Kita memiliki pilihan. Kita tidak harus membaca feed teman yang sarat dengan keluhan, prasangka atau ucapan kebencian.
Jangan pupuk bias negatif yang menjadi kecenderungan primordial kita. Beri lebih banyak ruang untuk sikap positif.
Seiring waktu, semua upaya ini akan mengubah cara pandang kita terhadap dunia. Semoga.[]