Persepsi kita tentang perkataan atau tindakan orang lain, bukan apa yang sebenarnya mereka katakan atau lakukan, berkontribusi besar pada munculnya emosi negatif.
Menjalin hubungan romantis dengan pasangan jangan dibayangkan selalu mulus dan lurus seperti jalan tol.
Faktanya, jalur yang harus dilalui mungkin lebih mirip dengan roller coaster. Kadang lurus, menanjak, turun tajam, hingga jungkir balik.
Kondisi ini tak lepas dari pengaruh emosi manusia. Kita memiliki harapan, perasaan bahagia, rasa frustasi, marah, sedih, dan berjuta nuansa emosi lain.
Salah satu emosi yang bisa merusak hubungan adalah frustrasi dan rasa marah.
Ekspektasi atau kebutuhan yang tidak terpenuhi bisa memicu frustasi.
Meskipun manusia tidak mungkin terhindar dari emosi negatif ini, beberapa orang tampaknya memiliki ‘sumbu’ yang lebih pendek sehingga mudah tersulut marah.
Apa yang berpotensi memicu kemarahan dalam sebuah hubungan romantis?
Pertama adalah penghakiman (judgment). Penghakiman atau penilaian yang tidak akurat pada pasangan bisa menyebabkan rasa marah.
Penghakiman biasanya disebabkan oleh ketidakmampuan kita dalam melihat situasi seperti apa adanya.
Kondisi ini disebabkan oleh situasi aktual yang seharusnya netral berubah menjadi negatif karena terkabutkan oleh pikiran atau prasangka yang kita ciptakan sendiri
Misalnya, saat sedang diajak bicara, pasangan kita nampak sibuk memainkan HP.
Melihat kondisi ini kita lantas menilai sikapnya sebagai tidak peduli dengan apa yang kita katakan.
Lebih jauh, kita juga berpikir dia tidak pernah benar-benar mau mendengarkan dan menganggap apa pun yang kita katakan tidak memiliki arti.
Pada kondisi inilah kemarahan kita terpicu dengan interpretasi tersebut.
Hikmahnya, meskipun sedapat mungkin kita harus memberi perhatian penuh saat berkomunikasi dengan pasangan, namun interpretasi yang kita berikan pada suatu peristiwa bisa memicu kemarahan.
Kemarahan ini bisa langsung meledak atau berupa kemarahan yang kita simpan diam-diam namun seiring waktu menggerogoti diri kita sendiri.
Sayangnya, persepsi kita tentang perkataan atau tindakan orang lain, bukan apa yang sebenarnya mereka katakan atau lakukan, berkontribusi besar pada munculnya emosi negatif.
Itu sebab, salah satu jalan termudah untuk menjernihkan kabut persepsi adalah dengan melakukan klarifikasi.
Tanyakan dengan jelas (tanpa merajuk) pada pasangan tentang hal yang menjadi perhatian kita.
Setelah jelas duduk soalnya, bukan tidak mungkin 99% dari situasi yang terlihat buruk sebenarnya merupakan persepsi keliru belaka.
Pemicu kemarahan yang kedua adalah sensitif terhadap penolakan. Sensitivitas ini akan membuat seseorang lekas marah atau menarik diri (ngambek).
Seseorang yang mudah ngambek atau minggat dari rumah saat terjadi masalah, bisa menjadi salah satu contohnya.
Orang dengan kecenderungan seperti ini sangat rentan dan merasa tidak aman dengan diri mereka sendiri sehingga tidak perlu benar-benar terluka untuk merasa terluka; cukup dengan ancaman.
Sikap defensif akibat sensitivitas berlebih pada akhirnya memicu kemarahan dan hilangnya kesabaran, kondisi yang mendorong pasangannya untuk melakukan hal yang sama.
Dari sini kemudian terjadi siklus kemarahan sehingga konflik tidak terselesaikan.
Untungnya, pengelolaan emosi bisa diajarkan. Hubungan romantis yang suportif pada akhirnya bisa mengurangi kepekaan pada penolakan.
Kita juga perlu memahami bahwa jeda waktu antara munculnya pemicu dan reaksi marah biasanya hanya berkisar dua hingga tiga detik.
Cobalah untuk memutus koneksi antara pemicu dan amarah dengan menarik napas dalam-dalam secara perlahan saat menyadari kita sedang marah.
Karena orang bijak pernah bilang di masa jeda itulah sebenarnya terletak kekuatan kita. Kekuatan untuk tidak tunduk pada emosi negatif kita.
Respon ini akan membantu menenangkan api amarah dan memberi waktu untuk merespon peristiwa dengan cara yang lebih baik dan dewasa.
Dengan menarik napas dalam, kita tidak akan jadi budak emosi negatif dan tetap mampu memegang kendali atas diri kita sendiri.[]