Kembali ke konteks kebiasaan baik, kita bisa mempertahankan kebiasaan ini jika memiliki rutinitas otomatis untuk itu. Semakin detail akan semakin bagus.
Kebiasaan bisa diartikan sebagai perilaku yang dilakukan secara berulang.
Pola perilaku berulang ini sering dilakukan tanpa sadar dan diperoleh melalui pengulangan terus-menerus.
Kebiasaan, dengan begitu, ada yang bersifat positif dan negatif. Kebiasaan positif harus dipertahankan, sedangkan yang negatif mesti dikurangi.
Kebiasaan biasanya dipicu oleh suatu konteks. Konteks ini bisa berupa waktu, tempat, perilaku lain, atau kombinasi dari faktor tersebut.
Misalnya saat bangun tidur, kita mungkin masuk ke kamar mandi, lalu menggosok gigi, kemudian mandi, dan dilanjutkan sarapan.
Rutinitas tersebut selalu dilakukan pada waktu tertentu dan dengan urutan tertentu. Jadi, kebiasaan ini melibatkan waktu + tempat + perilaku.
Kebiasaan biasanya juga membutuhkan petunjuk atau pemicu. Misalnya, ketika berangkat ke kantor, kita selalu menyempatkan untuk membeli kopi.
Berangkat ke kantor akan menjadi pemicu untuk kita membeli kopi. Artinya, ketika tidak pergi ke kantor maka kita tidak membeli kopi.
Disinilah letaknya tantangan dalam mempertahankan kebiasaan baik. Saat faktor pemicu tidak ada lagi (hilang) maka kebiasaan baik juga berpotensi hilang.
Itu sebab, sedapat mungkin pertahankan adanya faktor pemicu ini. Jika pemicu hilang, lakukan intervensi secara sadar untuk menautkan kebiasaan baik pada pemicu lain.
Kabar baiknya, kondisi ini bisa berlaku sebaliknya. Artinya, kita bisa mempermudah menghilangkan kebiasaan buruk dengan menghilangkan pemicunya.
Misalnya, seseorang yang kecanduan rokok mengalami dorongan kuat ingin merokok setelah minum kopi.
Saat ingin berhenti merokok, cobalah untuk mengurangi atau tidak minum kopi atau mengganti kopi dengan minuman lain.
Dengan cara ini kita bisa mempercepat menghilangkan kebiasaan merokok dengan menghilangkan faktor pemicunya.
Kembali ke konteks kebiasaan baik, kita bisa mempertahankan kebiasaan ini jika memiliki rutinitas otomatis untuk itu. Semakin detail akan semakin bagus.
Kembali ke contoh kebiasaan di pagi hari, maka kita perlu bangun pada waktu yang sama dan ditempat yang sama untuk memicu rentetan kebiasaan lain yang kita lakukan di pagi hari (gosok gigi, mandi, sarapan, dst).
Cara lain untuk mempertahankan kebiasaan baik adalah dengan mengetahui apa yang bisa mengganggu kita dalam melakukan kebiasaan tersebut.
Misalkan, karena menginap di hotel atau di rumah teman, jangan sampai kebiasaan menggosok gigi lantas tidak dilakukan hanya karena kita tidak tidur di rumah sendiri.
Disinilah kita perlu melakukan upaya sadar (karena ada gangguan) untuk mempertahankan kebiasaan, yang dalam kondisi normal bisa dilakukan secara otomatis.
Bagaimana dengan kebiasaan buruk? Prinsipnya mirip, hanya kita perlu melakukan kebalikannya.
Jadi dalam konteks kebiasaan buruk, alih-alih menghadirkan pemicu, kita menghilangkannya; alih-alih memperkuat rutinitas otomatis, kita perlu membongkarnya: alih-alih menghilangkan gangguan, kita justru menghadirkannya.
Dengan melakukan prinsip tersebut, maka kebiasaan baik bisa dilatih dan diperkuat, sedangkan kebiasaan buruk bisa diperlemah dan dihilangkan.
Pada akhirnya, diperlukan upaya dan keterampilan untuk memperkuat kebiasaan dan membuatnya tetap bertahan.
Tapi seluruh upaya itu seharusnya sepadan, apalagi jika menyangkut kebiasaan baik yang bisa membuat diri kita lebih baik, lebih sehat, dan lebih sejahtera.[]