Penundaan (diam, lembam) bukan hanya masalah manusia.
Hukum Gerak Pertama Newton mengatakan benda yang diam akan tetap diam sampai ada gaya yang membuatnya terdorong.
Jadi bisa dikatakan, seluruh alam semesta pada dasarnya berada dalam keadaan lembam.
Tetapi hanya karena kelembaman (tidak bergerak, menunda) universal, bukan berarti itu sesuatu yang bagus.
Dan terlalu sering, kita menunda-nunda ketika tahu kita seharusnya tidak melakukannya.
Kita sering bergumam, “Saya harus mulai melakukan tugas saya,” ketika kenyataannya malah ‘stalking’ facebook teman atau menonton video tutorial bermain drum, padahal kita tidak memiliki drum.
Penundaan juga dapat terjadi diluar pekerjaan yang akhirnya memengaruhi bagian penting dari kehidupan kita.
Menunda memeriksakan diri ke dokter setelah mengalami gejala iritasi mungkin akan membuat penyakit yang harusnya ringan menjadi lebih parah.
Menghindari memulai percakapan untuk mencari solusi bersama hanya akan memperpanjang konflik.
Dan menunda keputusan penting dalam hidup, seperti membuat komitmen serius, kembali ke sekolah, atau mengubah jalur karier, dapat menyebabkan Anda tidak beranjak selama bertahun-tahun.
Pada akhirnya, kita cenderung menyalahkan diri sendiri. Kita menyesali waktu yang terbuang begitu deadline mendekat, waktu habis, dan kesempatan menyelinap pergi.
Mengapa kita melakukan ini pada diri sendiri? Padahal solusinya tampak sangat sederhana: Lakukan saja.
Tetapi kenyataan jauh lebih rumit, dan semakin memperburuk keadaan, penundaan tampaknya menjadi bagiand dari genetik manusia.
Kecenderungan untuk menunda ternyata diwariskan dalam keluarga, dan terkait pada tingkat genetik dengan impulsif, yang menciptakan kesulitan untuk mengatur perilaku kita sendiri.
Sebuah penelitian dalam jurnal Psychological Science mencatat bahwa penundaan, sayangnya, adalah sifat seumur hidup.
Namun apakah kemudian kita ditakdirkan seumur hidup menghabiskan waktu berjam-jam menonton video di YouTube tanpa mulai melakukan tugas kita?
Untungnya tidak. Sama seperti semua kebiasaan buruk, kita dapat menemukan strategi untuk membantu fokus dan melawan dorongan untuk menunda-nunda.
Penundaan bisa menyaru dalam banyak wajah. Terkadang itu berupa memilih kesenangan daripada disiplin.
Terkadang menunda merupakan upaya untuk menghindari sesuatu yang negatif. Atau menunda karena lumpuh akibat ekspektasi yang terlalu tinggi.
Berikut adalah lima alasan mengapa kita menunda-nunda, ditambah solusi yang bisa dilakukan.
1. Tugas tidak dianggap mendesak.
Apakah itu tangisan bayi, ponsel yang berdering, atau tenggat waktu pekerjaan, kita cenderung memperhatikan apa yang ada di depan kita.
Mudah memperhatikan yang dekat tetapi jauh lebih sulit untuk memprioritaskan hal-hal yang sebenarnya tidak mendesak.
Dari mengatur kembali ruang tamu hingga menabung untuk masa pensiun, kita semua memiliki hal-hal yang tidak pernah kita selesaikan.
Akibatnya, tugas tersebut terabaikan selama berbulan-bulan, jika tidak bertahun-tahun, dan berada di bagian bawah daftar yang harus dilakukan.
Solusi: Lihat gambaran besarnya.
Kecenderungan ini sebenarnya memiliki kaitan dengan evolusi manusia.
Manusia memiliki kecenderungan mempertimbangkan kebutuhan masa kini jauh lebih kuat daripada kebutuhan masa depan, sebuah fenomena yang disebut diskon temporal.
Dan ini masuk akal: hadiah (reward) ada begitu dekat di depan mata, jadi tentu kita lebih memperhatikannya.
Solusinya, menurut sebuah studi di Journal of Personality and Social Psychology, adalah untuk mengambil perspektif yang lebih luas daripada fokus pada detailnya.
Lihatlah tugas sehari-hari melalui gambaran besarnya. Misalnya, Anda ingin melanjutkan sekolah, tetapi tidak pernah berhasil, maka renungkan…
Apa arti sekolah bagi hidup Anda?
Apa nilai dan tujuan Anda di seputar pendidikan? Apa gambaran besarnya?
Mengambil perspektif baru dapat memulai proses dalam mengambil tindakan.
2. Tidak tahu bagaimana memulai atau apa yang akan terjadi selanjutnya.
Terlalu sering, orang menunda-nunda karena tidak tahu apa yang harus dilakukan terlebih dahulu.
Kita merasa kewalahan, bingung, atau tidak terorganisir sehingga menunda untuk memulai.
Penundaan seperti ini bukan merupakan penghindaran tugas, dan lebih merupakan penghindaran emosi negatif.
Tidak ada yang suka merasa tidak kompeten atau tidak mengerti. Jadi siapa yang bisa menyalahkan jika kemudian orang tersebut mengalihkan perhatian dengan bermain Facebook?
Ketika kita menunda tugas dengan melakukan tugas lain, hal tersebut disebut sebagai penundaan produktif (productive procrastination).
Sebagai contoh, berbelanja online untuk acara yang akan datang alih-alih melakukan pekerjaan.
Kita merasa produktif karena merasa setidaknya telah menemukan pakaian yang sempurna jauh sebelum tanggal acara.
Solusi: Terima keterbatasan dan dorong untuk melakukan langkah pertama.
Kuncinya adalah mengakui bahwa normal untuk merasa kewalahan atau bodoh ketika Anda baru memulai, terutama jika belum pernah melakukan tugas itu sebelumnya.
Karena itu, buat langkah-langkah menemukan langkah pertama.
Beberapa orang memerlukan pihak luar untuk membantu mereka berpikir, jadi membicarakan dengan teman atau rekan kerja bisa dilakukan untuk membantu Anda memulai.
Ingat, tidak masalah pada permulaan tugas untuk melakukan kesalahan atau memulai kembali segala sesuatunya.
Seiring waktu, Anda akan semakin mahir melakukannya.
3. Takut gagal.
Sedikit perfeksionis tidak selamanya buruk. Lagipula, standar tinggi mengarah pada hasil kerja bermutu tinggi.
Tetapi terkadang standar tinggi memiliki efek sebaliknya. Sebagian orang justru menghentikan pekerjaan mereka, karena yakin tidak ada cara yang dapat memenuhi standar yang mereka tetapkan sendiri.
Solusi: Pisahkan hubungan antara kinerja dan harga diri.
Perfeksionisme dan penundaan saling terkait, tetapi tidak selalu standar tinggi yang memperlambat Anda.
Standar setinggi langit bercampur dengan keyakinan bahwa kinerja Anda terkait dengan harga diri adalah kombinasi yang membuat Anda berhenti.
Selalu ingat perbedaan penting antara siapa Anda dan apa yang Anda capai.
Terdapat banyak hal yang jauh lebih berharga dari prestasi atau pencapaian Anda seperti keluarga, gairah hidup, pengalaman, teman, keterampilan, tantangan yang telah Anda atasi, dan, yang paling penting, bagaimana Anda memperlakukan orang lain.
4. Beberapa dari kita bekerja lebih baik di bawah tekanan.
Kita mungkin mengenal saat di sekolah, anak yang baru membuka buku pelajaran untuk pertama kalinya beberapa hari sebelum ujian dan masih mendapat nilai lebih tinggi dibanding kita yang sudah belajar jauh-jauh hari.
Solusi: Kenalilah dirimu.
Anak-anak tersebut sebenarnya juga membuat rencana, hanya dengan cara yang berbeda.
Terdapat dua jenis penundaan: pasif dan aktif.
Penundaan pasif adalah apa yang biasanya kita anggap sebagai penundaan itu sendiri: menonton video Youtube atau browsing Facebook, alih-alih menyelesaikan tugas kita.
Penundaan aktif lebih strategis — mereka adalah yang bekerja lebih baik di bawah tekanan dan lebih menyukai aliran adrenalin dan fokus intens yang dirasakan seiring tenggat waktu yang dekat sehingga memilih untuk memulai nanti.
Dan ternyata, pilihan itu tidak selamanya buruk. Sebuah studi pada tahun 2017 oleh tiga peneliti Swiss menemukan penundaan pasif berpengaruh negatif terhadap IPK siswa, tetapi nilai siswa yang melakukan penundaan aktif ternyata baik-baik saja.
Pelajaran yang bisa diambil adalah kenali diri Anda sendiri. Jika Anda tidak masalah dengan intensitas tinggi dan menghabiskan malam dengan begadang, silahkan seduh kopi dan buka buku pelajaran di tengah malam.
5. Hanya tidak ingin melakukan pekerjaan.
Ini terjadi jika apa yang seharusnya kita lakukan tampak membosankan atau sulit.
Terdapat beberapa hal yang tidak seorang pun ingin lakukan. Lantas apa solusinya?
Solusi: Ukur dan kompensasikan.
Sebuah studi di European Journal of Personality menunjukkan sebagian mahasiswa menunda melakukan sesuatu karena ada alternatif yang lebih menyenangkan.
Dalam pikiran mereka, mereka tidak melalaikan tugas untuk belajar namun menganggap tidak harus dilakukan sekarang.
Dan seperti halnya penundaan aktif dari penelitian sebelumnya, para penunda ini juga mengenal diri mereka dengan baik.
Studi ini menemukan bahwa mereka mengimbangi kecenderungan untuk menunda-nunda dengan belajar lebih banyak dan lebih awal daripada yang tidak menunda-nunda.
Dengan kata lain, mereka mengkompensasi waktu yang terbuang. Dan pada akhirnya? Mereka belajar lebih banyak dari yang tidak menunda.