Pada suatu saat, mungkin kita pernah membeli barang yang tidak direncanakan untuk dibeli sebelumnya.
Arloji yang berkilau dari dalam etalase atau sepasang sepatu hitam yang akan menambah sempurna setelan bisnis Anda, nampak susah untuk dilewatkan.
Pembelian yang tidak direncakan ini seringkali disebut sebagai belanja impulsif atau spontan.
Tetapi ketika pembelian bergeser dari impulsif ke kompulsif, seseorang mungkin sedang mengalami kondisi yang lebih serius: kecanduan belanja (shopaholic).
Belanja tampak menyenangkan, glamor dan memberi kepuasan tersendiri. Tetapi ketika pengeluaran menghadirkan masalah nyata, glamor akan memudar dan diganti dengan utang yang meningkat.
Psikolog menyebut masalah ini sebagai gangguan belanja kompulsif (compulsive buying disorder), dan dianggap sebagai masalah kontrol impuls, seperti halnya perjudian atau makan berlebihan.
Gangguan belanja kompulsif memiliki potensi menciptakan badai tekanan emosional dan finansial.
Berikut adalah beberapa tanda yang menunjukkan seseorang memiliki masalah belanja berikut beberapa saran tentang apa yang dapat dilakukan untuk mengendalikan kebiasaan ini.
1. Memiliki banyak barang yang belum dibuka atau masih memiliki label.
Barang belum dibuka yang dimaksud tentu bukan barang pemberiaan teman atau hadiah ulang tahun, melainkan barang yang dibeli dan belum dibuka atau dengan label yang masih terpasang.
Orang dengan kecenderungan seperti ini mungkin lupa bahwa mereka pernah membeli barang tersebut.
Barang yang telah dibeli hanya teronggok di lemari dan terlupakan karena pada awalnya memang dibeli secara kompulsif, bukan karena membutuhkan barang tersebut.
2. Sering membeli barang yang tidak dibutuhkan atau tidak berencana untuk membeli.
Kecanduan belanja (shopaholic) ditandai dengan mudah tergoda oleh barang-barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan seperti HP baru atau tas baru, padahal barang yang ada masih layak digunakan.
Masalah juga timbul ketika seseorang terpaku atau memiliki obsesi pada jenis barang tertentu, seperti sepatu atau tas desainer.
Hanya karena obsesi ini terfokus pada satu jenis kategori, bukan kemudian kecenderungan seperti ini bisa dibenarkan.
3. Keinginan untuk berbelanja yang dipicu perasaan frustrasi atau stres.
Belanja kompulsif diketahui merupakan upaya mengisi kekosongan emosional, seperti kesepian, kurangnya kontrol atau kurangnya kepercayaan diri.
Orang yang gila belanja juga memiliki kecenderungan menderita gangguan mood, gangguan makan dan masalah penyalahgunaan zat terlarang.
Jadi, jika seseorang cenderung makan berlebih setelah mengalami hari yang buruk, penelitian menunjukkan orang tersebut mungkin juga berisiko mengalami shopaholic.
4. Merasa euforia (amat gembira) saat berbelanja.
Para shopaholic mengalami ‘adrenalin rush’ saat membeli suatu barang.
Para ahli mengatakan dopamine, zat kimia otak yang berhubungan dengan kesenangan, lebih banyak dilepaskan saat seorang shopaholic melihat barang yang diinginkan dan mempertimbangkan untuk membelinya.
Ledakan kegembiraan yang dipicu aktivitas belanja ini bisa menjadi kecanduan.
5. Pembelian diikuti oleh perasaan penyesalan.
Merasa bersalah setelah berbelanja tidak terbatas pada pembelian mahal saja.
Pembelanja kompulsif juga sering tertarik pada diskon dan berburu barang murah, hanya untuk kemudian menyesalinya karena telah membeli barang kecil hingga akhirnya menumpuk.
Meskipun muncul penyesalan diakhir, shopaholic mahir merasionalisasi pembelian apa pun.
6. Berusaha menyembunyikan kebiasaan berbelanja.
Saat seseorang menyembunyikan tas belanja di lemari anak perempuannya atau merasa khawatir kepergok saat berbelanja online, bisa jadi kebiasaan belanja tersebut sudah berlebihan.
7. Merasa cemas pada hari-hari saat tidak berbelanja.
Banyak orang merasa gelisah sebelum mendapatkan secangkir kopi di pagi hari. Asal tidak berlebihan, kondisi ini dianggap sebagai sesuatu yang wajar.
Tetapi jika seseorang merasa gelisah karena belum menggesek kartu debit/kredit sepanjang hari, maka dia perlu khawatir.
Para shopaholic melaporkan mereka merasa cemas jika belum berbelanja, dan mereka mengakui juga berbelanja online jika tidak dapat mendatangi toko di mall secara langsung.
8. Berbelanja di luar kemampuan.
Orang yang mengalami shopaholic tidak pernah merasa jera. Ketika plafon kartu kredit telah maksimal, mereka cenderung membuka kartu kredit baru agar tetap bisa berbelanja.
Pada akhirnya, utang yang semakin menumpuk memicu mereka untuk berbohong atau bahkan mencuri.
Cara Menghentikan Kebiasaan Berbelanja
Jika karakteristik di atas sangat mirip dengan Anda atau seseorang yang Anda kenal, jangan khawatir dulu.
Langkah paling awal adalah berusaha memahami mengapa keinginan belanja selalu muncul dan langkah apa yang bisa dilakukan untuk menghentikannya.
Menghentikan kebiasaan ini akan bermanfaat bagi kesehatan jiwa dan kesehatan finansial orang tersebut
Untungnya, terdapat beberapa cara sederhana yang bisa dilakukan untuk membantu menghilangkan kebiasaan berbelanja:
– Temukan aktivitas baru.
Berolahraga, mendengarkan musik, bermeditasi, membaca buku, menonton TV – semua kegiatan ini berpotensi menjadi pengganti belanja sekaligus akan meringankan beban dompet.
– Identifikasi pemicu.
Perhatikan apa yang mungkin mengirim Anda ke toserba terdekat, apakah itu pertengkaran dengan orang lain atau frustrasi setelah pertemuan bisnis.
Ketika perasaan ini muncul, tahan keinginan berbelanja dengan cara apa pun dan temukan cara yang lebih sehat untuk menyelesaikannya.
– Menghilangkan godaan.
Agar keinginan belanja tidak muncul, hindarkan berjalan-jalan di butik favorit. Alih-alih, salurkan keinginan tersebut dengan melakukan aktivitas bermanfaat lain.
Cobalah untuk membatasi aktivitas belanja dan melakukannya hanya jika diperlukan.
Jika belanja online adalah kelemahan Anda, tahan keinginan untuk menjelajahi situs toko favorit dan bahkan pertimbangkan jauhkan laptop dari jangkauan.
– Bawalah uang tunai yang hanya cukup untuk membeli apa yang dibutuhkan.
Tinggalkan kartu debit dan kredit di rumah. Buat daftar belanja dengan perkiraan biaya dan patuhi ketika sedang berada di toko.
Memaksa diri merasa ‘kekurangan’ akan membuat seseorang mengurungkan keinginan belanja tak terkendali.
– Meminta bantuan.
Jika masih kesulitan dengan pengeluaran kompulsif, mintalah bantuan.
Mulailah dengan meminta bantuan teman atau anggota keluarga untuk membantu Anda tetap terkendali.
Cara lain, ikuti kelas perencanaan keuangan untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya mengelola keuangan secara hati-hati.
Jika hal tersebut belum bisa membantu, pertimbangkan untuk meminta bantuan profesional.[]